• Bussines

    "Sepatu paling mahal di dunia adalah mereka yang tidak pernah mencoba untuk menginjak langkah pertama."

  • Kesehatan

    "Kesehatan yang baik bukanlah hasil dari keberuntungan, tetapi hasil dari keputusan bijak dan gaya hidup sehat."

  • Pengetahuan

    "Pendidikan adalah kunci yang membuka pintu dunia, dan buku-buku adalah langkah-langkah menuju kebijaksanaan."

  • Arti Mimpi

    "Mimpi adalah jendela ke dunia tak terbatas, di mana imajinasi dan harapan bersatu untuk menciptakan realitas baru."

Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pendidikan. Tampilkan semua postingan

Pengertian Pembagian Dan Alokasi

 Pembagian  (distribusi)

Distribusi dalam ilmu politik adalah pembagian dan penjatahan dari nilai nilai dalam masyarakat. Para ahli yang menekankan bagian dan alokasi beranggapan bahwa politik adalah membagikan dan mengalokasikan nilai nila secara mengikat. Yang ditekankan oleh mereka bahwa pembagian ini sering tidak merata dan terjadi konflik oleh karenanya. Permasalahan ini diakibatkan adanya gangguan pada hubungan antara kekuasaan dan kebijaksanaan pemerintah.

Dalam sebuah ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.


a. Pengertian Pembagian Kekuasaan

Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu. Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada satu pihak/ lembaga. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama (Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988: 140). Berbeda dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewanang-wenangan. Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu (Zul Afdi Ardian, 1994: 62):

1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara federal.

2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam pembagian ini lebih menitik beratkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.

b.      Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke

John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan,yaitu:

1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)

2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)

3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara lain).

Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.


c. Konsep Trias Politica Montesquieu

Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:

a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).

b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).

c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas undang-undang).


Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:

a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yudikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif  (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.


b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.

c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan ferderatif diberbagai negara sekarang  ini dilakukan oleh eksekutif melalui Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud 


   MD, 2001: 73). 


Seperti halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini. Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu.


Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari :

a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).

b. Fungsi Pengawasan (Control).

c. Fungsi Perwakilan (Representasi).


Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi : 

a. Sistem Pemerintahan.

b. Kementerian Negara.


Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai berikut :

a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.

b. Prinsip Pokok Kehakiman.

c. Struktur Organisasi Kehakiman.

Jadi menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam penyelenggaraan negara.


d.Pembagian Kekuasaan di Indonesia

Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945, Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.

Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD 1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain adalah :


1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.

2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh 

Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.

3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.

4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.

5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai  dengan prinsip checks and balances.

Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada koordinasi antar lembaga negara.